Kementerian Kesehatan terus melakukan deteksi dini secara rutin sebagai bentuk kewaspadaan terhadap timbulnya Penyakit Virus Ebola di Indonesia, baik di pintu masuk negara maupun di wilayah. Deteksi dini yang dilakukan antara lain dengan pemantauan kesehatan terhadap orang dalam pengawasan (person under surveilance) dan orang dalam investigasi (person under investigation) selama 21 hari sejak meninggalkan daerah/negara terjangkit.
Orang dalam pengawasan (person under surveilance) adalah orang yang memiliki riwayat perjalanan dari negara/daerah terjangkit atau memliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi, tetapi tidak ditemukan tanda dan gejala penyakit yang dicurigai PVE pada saat dilakukan penilaian risiko. Orang ini dapat melakukan aktivitas secara bebas atau terbatas sesuai hasil penialian risiko di tengah masyarajat. apabila orang dalam pengawasan menunjukkan gejala dalam rentang waktu 21 hari sejak meninggalkan daerah/negara terjangkit, maka akan dikategorikan sebagai orang dalam investigasi.
Orang dalam investigasi (person under surveilance) adalah orang yang memiliki tanda dan gejala penyakit yang dicurigai PVE. Ini ditandai dengan perdarahan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya atau kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Orang dalam investigasi memiliki riwayat perjalanan dari negara/daerah terjangkit atau memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi PVE dalam rentang waktu 21 hari sejak meninggalkan daerah/negara terjangkit. Semua orang dalam investigasi harus dipantau di rumah sakit.
Sejak Agustus 2014 sampai dengan saat ini telah dilakukan pemantauan terhadap 32 orang dalam pengawasan dan 5 orang dalam investigasi. Hasil pemantauan terhadap 32 orang dalam pengawasan menunjukkan 30 orang tidak memiliki tanda dan gejala sampai akhir masa pemantauan dan 2 orang lainnya masih dalam masa pemantauan. Sementara, hasil pemeriksaan laboraturium terhadap 5 orang dalam investigasi menunjukkan tidak ada yang positif mengidap PVE. Sampai saat ini belum ditemukan kasus konfirmasi PVE di Indonesia.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, website www.depkes.go.id dan email [email protected].
Kemajuan teknologi transportasi saat ini memungkinkan manusia dan barang dapat bergerak dengan cepat dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu negara ke negara lain. Batas negara menjadi sangat tipis, dalam waktu belasan jam kita dapat pindah dari suatu tempat yang bercuaca panas, ke suatu negara dengan cuaca sangat ekstrim dingin. Tidak ada lagi negara yang tidak dapat dikunjungi. Bukan saja produk dan manusia yang dapat berpindah, namun juga sosial, budaya, bahkan masalah kesehatan juga dapat dengan mudah melewati batas negara.
“Dengan adanya globalisasi, masalah kesehatan di suatu negara dapat berdampak negatif pada negara lain di wilayah regional yang bersangkutan bahkan dapat menyebar menjadi masalah kesehatan global, seperti pandemi flu burung, Mers CoV, dan lain-lain. Belum lagi kaitan dengan kontaminasi bahan kimia berbahaya atau radiasi yang dapat membahayakan kesehatan rakyat Indonesia”, ujar Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), dalam pembukaan Seminar Nasional Global Health Security Agenda (GHSA) di salah satu hotel di kawasan Jakarta Selatan, Senin pagi (28/3).
Berkaitan dengan hal tersebut, implementasi International Health Regulation (IHR) 2005 di tiap negara diharapkan mampu meningkatkan kapasitas negara dalam kesiapannya dalam menghadapi pandemi. Namun demikian, hampir dua dasawarsa sejak IHR mulai dilaksanakan oleh seluruh negara anggota WHO, tercatat beberapa penyakit menular yang dengan cepat menyebar hampir ke seluruh dunia. Antara lain, SARS pada tahun 2002, Influenza A(H1N1) tahun 2009, Ebola tahun 2014, Mers CoV tahun 2015 hingga Zika tahun 2016.
“Sejak diluncurkan IHR 2005, tidak banyak negara yang mengimplementasikannya”, tutur Menkes.
Menkes menuturkan, Indonesia baru mengimplementasi sejak tahun 2007 dan setelah self-assessment di tahun 2012, pada tahun 2014, Indonesia diakui telah mengimplementasikan IHR 2005 secara lengkap. Perkembangan ini mendorong beberapa negara di dunia termasuk Indonesia, Amerika Serikat dan Finlandia untuk melakukan suatu bentuk kolaborasi multilateral melalui Global Health Security Agenda (GHHSA) sejak 2014, untuk memperkuat IHR 2005.
Dalam konteks kesiapan penanganan pandemi, dibutuhkan tingkat pemahaman yang sama dan kapasitas implementasi yang setara pada tiap negara. Pengembangan dan pelaksanaan GHSA dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan atau kapasitas negara-negara di dunia dalam mencegah dan mengendalikan penyakit menular berpotensi wabah.
Tujuan dari GHSA terdiri dari 3 kelompok besar, yaitu: pencegahan outbreak/epidemi (prevent), deteksi dini ancaman kesehatan dan keamanan (detect), dan respons secara cepat dan efektif (respond). Dalam mencapai tujuan besar tersebut, forum GHSA melakukan identifikasi terhadap 11 paket kegiatan untuk dilaksanakan oleh negara-negara anggota GHSA.
Berikut adalah 11 Action Package dalam pendekatan Prevent, Detect, & Response:
Prevent Anti Microbial Resistance (AMR); Penyakit Zoonosis; Biosafety dan Biosecurity; serta Imunisasi.
Detect Sistem laboratorium nasional; Real-time Surveillance; Pelaporan; dan workforce development
Respond Emergency Operations Centers; Linking Public Health with Law & Multisectoral Rapid Response; dan Medical countermeasures and personnel deployment.
Lebih lanjut, Menkes menegaskan bahwa Global Health Security tidak mungkin hanya dilakukan oleh Kementerian Kesehatan beserta seluruh aparat di bawahnya, tetapi juga harus melibatkan seluruh sektor dan unsur masyarakat.
“Untuk itu, kita mengenai konsep One Health, di mana kesehatan dilihat sebagai konsep yang terintegrasi antara kesehatan manusia dengan kesehatan hewan”, tegas Menkes.
Indonesia berperan penting dalam upaya-upaya mewujudkan keamanan kesehatan global. Tahun ini, Indonesia mendapat kepercayaan menjadi Ketua GHSA. Adapun ketua sebelumnya adalah Amerika (2014) dan Finlandia (2015). Beberapa alasan kuat yang mendukung hal tersebut, antara lain: keadaan geografis yang strategis membuat Indonesia berpengaruh bagi negara di bagian selatan; Indonesia salah satu negara penyelenggara IHR selain Thailand di ASEAN; dan Indonesia diakui mampu memimpin koordinasi negara kawasan asia-afrika-pasifik.
Selain menjadi Ketua Troika GHSA pada tahun 2016, Indonesia juga dipercaya menjadi lead country untuk Action Package Zoonotic Diseases dan contributing country untuk Linking Public Health with Law & Multisectoral Rapid Response. Hal ini karena Indonesia dianggap baik dalam pengendalian zoonosis secara multisektor. Indonesia juga menjadi contributing country untuk Action Package Anti Microbial Resistance (AMR) yang merupakan isu penting secara global dan nasional dan Action Package Real-Time Surveillace karena surveilans merupakan pintu masuk untuk pertukaran data yang sangat penting.
Di samping itu, di tingkat nasional saat ini telah dibentuk Kelompok Kerja Lintas Sektor atau Pokja Nasional untuk melaksanakan GHSA. Pokja ini diketuai oleh Menko Polhukam dan beranggotakan Menko PMK, Menteri Kesehatan dan Menteri atau pejabat Eselon I dari Kementerian/Lembaga terkait.
“Keterlibatan aktif Indonesia dalam GHSA sebagai ketua dari Troika GHSA, sudah menjadi posisi nasional. Kerja sama dan kepedulian kita semua dalam menyukseskan GHSA, bukan hanya sebagai sebuah kerja sama global, utamanya adalah sebagai suatu medium untuk peningkatan kapasitas dalam penanggulangan pandemi penyakit”, terang Menkes.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected].
Oleh : Ria Soekarno, SKM, MCN
Aceh Jaya – Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria (microfilaria). Penyakit ini bisa menular dengan perantaraan nyamuk sebagai vektor. Bersifat menahun (kronis), bila tidak mendapat pengobatan, akan menimbulkan cacat menetap/seumur hidup, yaitu berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin, bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Hal ini berdampak pada psikologis penderita dan keluarganya. Penderita tidak dapat bekerja secara optimal. Hidupnya bergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) sedang melakukan pengumpulan data untuk penelitian filariasis. Kabupaten Aceh Jaya merupakan salah satu lokasi pengumpulan data. Data yg dikumpulkan dari monyet, kucing dan monyet. Sekretaris Badan Litbangkes, Ria Soekarno, SKM., MCN. melakukan supervisi terkait penelitian tersebut, 22 September 2017. “Ketertarikan Saya terhadap monyet, karena saya tadi jalan menuju ketempat ini banyak menemui monyet , ujar Ria. “Sekali nangkep, dapet berapa ?”, tanya dr. Lidwina Sallim, M.Si, Kepala Bagian Tata Usaha, Pusat Litbang Upaya Kesehatan Masyarakat, yang mendampingi.
Yulidar, S.Si, M.Si, peneliti dari Loka Litbang Biomedis Aceh, sebagai penanggung jawab teknis menjelaskan, “Kita sudah mendapat 68 sampel reservoir. Sampel darah dari kera 17 ekor, selebihnya kucing, sekitar 51 ekor. Total target yang harus diperoleh 100 ekor untuk semua hewan, Monyet, Kucing dan anjing Lokasi penangkapan harus di daerah endemis. Di lokasi pertama, kita punya 5 kasus dan sudah diserahkan ke Dinas Kesehatan untuk diberi pengobatan.
Dalam melakukan pencegahan serta untuk mengeliminasi kaki gajah, maka setiap bulan Oktober diadakan Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA), setiap penduduk kabupaten/kota endemis Kaki Gajah serentak minum obat. BELKAGA telah dicanangkan tanggal 1 Oktober 2015 di Cibinong, Jawa Barat dan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam pelaksanaannya diperlukan dukungan Kementerian dan Lembaga terkait. Badan Litbang membantu melakukan evaluasi serta pemetaan daerah yang terkena penyakit kaki gajah untuk memudahkan program dalam merencanakan pencegahan serta eliminasi yang tepat sasaran.