Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek
Oleh Prof. Dr. Nila F. Moeloek
Menteri Kesehatan, Republik Indonesia
Nutrisi memegang peran sentral dalam mewujudkan kehidupan kita yang lebih sehat dan sejahtera. Pentingnya kecukupan nutrisi dalam keberadaan kita sehari-hari untuk menopang kehidupan yang produktif dan bermanfaat merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Dapat dipastikan bahwa tanpa nutrisi yang mencukupi upaya kita untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan bermartabat akan sulit terwujud.
Keberhasilan dalam implementasi pembangunan kesehatan nasional sangat bertumpu pada bagaimana kita memberikan perhatian pada nutrisi dalam keluarga, terutama pada anak-anak dalam masa tumbuh kembang. Nutrisi menyediakan fondasi yang kokoh untuk mencapai kehidupan yang sehat, keberhasilan dalam dunia pendidikan, dan kehidupan yang produktif untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Ketidakmampuan kita untuk memastikan kecukupan gizi pada masayarakat akan menghambat upaya-upaya pencapaian tujuan pembagunan nasional dalam pengertian yang paling mendasar.
Dalam konteks Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals, MDGs), yang telah menjadi komitmen bersama kita untuk dicapai, kemajuan dalam target-target yang terkait dengan nutrisi akan memberikan sumbangan positif bagi percepatan pencapaian MDGs. Pencapaian dalam upaya memberantas kemiskinan ekstrim dan kelaparan, menurunkan tingkat kematian anak, serta target-target MDGs lainnya yang terkait dengan kesehatan dan pendidikan, banyak bergantung pada seberapa jauh kita mencapai kemajuan dalam bidang nutrisi.
Pentingnya peran nutrisi dalam kemajuan pembangunan bangsa harus digaungkan dan dikedepankan oleh semua pembangku kepentingan pembangunan, tidak terbatas pada pemangku kepentingan di sektor kesehatan saja. Setiap tahun, diestimasi bahwa kekurangan gizi menyebabkan kematian sekitar 5,6 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di seluruh dunia. Sementara satu dari empat anak di bawah lima tahun memiliki bobot kurang (underweight) untuk anak-anak seusia mereka, dan kondisi ini meningkatkan resiko akan kematian dini.
Nutrisi dan Keluarga
Jelas bahwa kekurangan nutrisi memberikan dampak buruk yang signifikan pada kesehatan individu dan masyarakat. Ibu hamil yang tidak cukup gizi akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah, dan dengan demikian memiliki resiko yang meningkat terhadap penyakit-penyakit yang mengancam kelangsungan hidup anaknya. Demikian pula, para gadis yang yang kekurangan gizi beresiko tidak mampu mengandung dan melahirkan anak yang sehat.
Kekurangan gizi ini menciptakan lingkaran jahat (vicious circle) lebih jauh, karena kondisi ini akan menghambat tumbuh kembang anak hingga dewasa. Pada gilirannya kondisi ini akan menghasilkan individu-invidu yang kurang produktif ketika mereka beranjak dewasa, dan bahkan bisa menjadi beban pembangunan.
Di balik semua itu, kesadaran akan pentingnya peran gizi dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang produktif dan pencapaian tujuan pembangunan nasional kita, ternyata belum cukup terefleksi dalam pencapaian target-target nasional kita yang terkait dengan nutrisi. Angka-angka terakhir yang menjadi indikator dalam pencapaian di bidang gizi (Riskesdas 2013) menunjukkan bahwa prevalensi bobot kurang pada balita mencapai 19,6%, sementara kondisi kurus kering (wasting) mencapai 21,1%, dan kondisi kerdil (stunting) sebesar 37,2%.
Menarik, tetapi sekaligus memprihatinkan, untuk dicatat karena untuk kondisi kerdil pada balita meningkat dari 36,8% pada 2007 menjadi 37,2 pada 2013. Temuan ini cukup menggelitik karena ternyata pertumbuhan ekonomi kita yang relatif cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir — yang menjadi salah satu tolok ukur bagi kesejahteraan masyarakat – tidak serta merta paralel dengan kemajuan dalam kondisi gizi masyarakat.
Menyikapi tantangan pembangunan gizi
Kondisi yang tidak menguntungkan dalam bidang gizi ini perlu dijawab oleh semua pemangku kepentingan pembangunan terkait. Ini terutama karena pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik tidak akan memiliki landasan yang kokoh untuk bertahan lama tanpa ditopang kecukupan gizi yang memadai.
Penting untuk melihat bahwa pencapaian dalam target-target nutrisi terkait secara erat dengan pencapaian bidang-bidang pembangunan lainnya dan kebiasaan sosial dalam masyarakat. Upaya pencapaian dalam bidang nutrisi, misalnya, tidak dapat diisolasikan dari isu-isu utama dalam ketahanan pangan dan pola makan masyarakat kita. Keterkaitan yang kompleks dengan isu-isu pembangunan lain ini merupakan salah satu masalah fundamental yang harus diselesaikan, sebelum kita memusatkan perhatian lebih jauh pada pemenuhan gizi masyarakat.
Secara geografis malnutrisi umumnya tersebar di berbagai wilayah di tanah air yang memang rentan dengan kerawanan pangan. Namun malnutrisi juga berkaitan dengan perilaku dan konsumsi masyarakat. Temuan yang diperoleh dalam studi tentang kondisi ketahanan pangan dan gizi di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Smeru, UKP4 dan WFP (2014), menunjukkan bahwa malnutrisi juga tersebar dalam semua spektrum pendapatan. Sebagai contoh, prevalensi kondisi kerdil ditemukan cukup tinggi di kelompok rumah tangga terkaya.
Ini menunjukkan bahwa malnutrisi tidak hanya merupakan persoalan yang membelit kelompok berpendapatan rendah dan mereka yang menetap di wilayah rawan pangan, tetapi juga kelompok rumah tangga kaya di wilayah perkotaan.
Isu-isu lain yang turut menyumbang pada kompleksitas permasalahan nutrisi mencakup, antara lain, capaian pembangunan yang belum merata di antara bebagai wilayah, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, urbanisasi yang masih tinggi, dan tingkat pemahaman yang masih rendah mengenai pentingnya gizi pada masyarakat.
Pendekatan lintas-sektor dan inovatif
Tantangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat menjadi semakin berat jika bidang-bidang pembangunan yang terkait langsung kecukupan nutrisi, seperti ketahanan pangan, infrastruktur, air bersih dan sanitasi, belum berkembang secara optimal. Oleh karena itu, kerja sama lintas sektor antara berbagai pemangku kepentingan terkait, apakah pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat madani, merupakan pra-kondisi mutlak untuk meningkatan status gizi masyarakat.
Besarnya skala persoalan dan kompleksitas tantangan yang dihadapi mengharuskan semua pemangku kepentingan untuk menempuh pendekatan yang lebih dari sekedar busines as usual. Upaya-upaya terobosan yang inovatif dan berkesinambungan perlu dieksplorasi dan diimplementasikan, terutama oleh pemangku kepentingan di sektor pemerintah, yang umumnya terbelenggu oleh ikatan-ikatan birokratis.
Berpikir secara kreatif (out-of-the-box) untuk menyelesaikan persoalan dengan melibatkan pemangku kepentingan non-pemerintah, mungkin masih sering menjadi kendala, terutama bagi mereka yang terbiasa berpikir dalam kotak-kotak birokrasi. Tapi tanpa upaya-upaya kreatif dan inovatif yang bekelanjutan seperti ini upaya-upaya dalam meningkatkan status gizi masyarakat akan terus menemui jalan terjal.
Dari sudut kebijakan, pemerintah telah melahirkan berbagai kebijakan dan rencana aksi untuk mewujudkan peningkatan status gizi. Dari dari semua rangkaian aksi telah dilalui, terlihat bahwa upaya-upaya koordinatif di tingkat implementasi serta aspek pemantauan dan evaluasi masih merupakan mata rantai lemah yang masih harus diperbaiki.
Salah satu upaya prioritas pemerintah, yakni Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), merupakan jawaban terhadap permasalahan status gizi masyarakat dengan meletakkan fokus yang kuat pada pendekatan lintas-sektor. Kesadaran akan pentingnya kerjasama multi-sektor, dan peningkatan fungsi-fungsi koordinatif di antara semua pemangku kepentingan, baik sektor pemerintah maupun non-pemerintah, merupakan karakteristik dasar dari gerakan ini.
Gerakan 1000 HPK ini bertolak dari postulat bahwa periode terpenting dalam kehidupan manusia adalah masa 1000 hari pertama dalam kehidupan, yang mencakup 270 hari dalam kandungan dan 730 hari setelah kelahiran. Kekurangan gizi selama periode tersebut akan mempengaruhi secara negatif tumbuh kembang anak, mengakibatkan kondisi kerdil, kurus kering atau pun obesitas, dan pada gilirannya memperburuk kualitas hidup di masa dewasa.
Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, menyadari bahwa diperlukan juga komitmen dan terobosan inovatif lebih jauh untuk memperkuat berbagai upaya peningkatan gizi yang ada. Komitmen ini telah diaktualisasikan Program Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat yang memberikan prioritas pada penguatan pemberdayaan masyarakat, penguatan penyedia pelayanan, serta penguatan pada aspek pemantauan dan evaluasi.
Pada tataran global, dalam rangka menyongsong agenda pembangunan pasca-2015 yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan akan diadopsi secara global tahun ini, pembangunan gizi harus terus mendapat fokus yang semakin kuat.
Agenda pembangunan global pasca-2015 dan agenda pembangunan nasional kita perlu terus memastikan agar pembangunan gizi tetap menjadi titik sentral dalam program-program pembangunan mendatang. Kekurangan gizi yang tidak ditangani secara mendasar dan komprehensif lambat laun akan menggerus capaian pembangunan yang diperoleh dengan susah payah. Demikian pula, upaya kita untuk dapat bersaing dengan bangsa-bangsa yang maju akan sulit diwujudkan tanpa menjadikan gizi sebagai fokus sentral dalam pembangunan kita.
Jakarta, 27 November 2015
Setiap tahun, pada peringatan Hari Kesehatan Nasional diberikan berbagai jenis penghargaan kepada individu dan institusi yang telah berkontribusi atau berprestasi dalam pembangunan kesehatan. Penghargaan yang diberikan antara lain terkait dengan bidang penyehatan lingkungan, pengendalian penyakit, pelayanan di fasilitas kesehatan, pendidikan tenaga kesehatan, dan karya seni budaya dengan tema kesehatan. Diberikan pula Sertifikat Eliminasi Malaria dari pemerintah kepada Bupati/Walikota yang telah berhasil mencapai eliminasi malaria.
Demikian sambutan Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M (K) pada acara Malam Pemberian Penghargaan dalam rangkaian Hari Kesehatan Ke-51, yang dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri, Para Gubernur, Para Bupati/Walikota, Para Kepala Dinas Kesehatan dan Para Peraih Penghargaan, (27/11) di Jakarta.
Pemberian penghargaan di bidang penyehatan lingkungan mencakup prestasi pengembangan kabupaten/kota sehat. Penilaian penerima penghargaan dalam pengembangan kabupaten/kota sehat antara lain penerapan secara konsisten dan berkelanjutan pendekatan kabupaten/kota sehat yang mencakup pelaksanaan ; tatanan kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum yang sehat dan tatanan kehidupan masyarakat sehat yang mandiri.
Penerapan pendekatan ini sangat penting dalam menghantarkan suatu wilayah bersama masyarakat menuju kabupaten sehat atau kota sehat dengan penduduk yang hidup dalam kondisi bersih, nyaman, aman dan sehat.
Penghargaan
Penghargaan tertinggi diberikan kepada mereka yang berprestasi dan berkontribusi dalam pengembangan kabupaten/kota sehat adalah Sawastisaba Wistara. Penghargaan tertinggi ini diberikan kepada daerah yang mampu mengkoordinasikan sekurang-kurangnya lima sektor pembangunan di wilayahnya.
Tahun ini cukup banyak kabupaten/ kota mendapat penghargaan Swastisaba Wistara. Menkes berharap agar di tahun-tahun mendatang lebih banyak lagi kabupaten/ kota yang berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi ini. Sebab kebupaten/ kota yang meraih penghargaan setinggi ini adalah kabupaten/ kota yang benar-benar mampu memberikan pelayanan publik yang terbaik bagi masyarakat.
Pada kesempatan itu pula Menkes menyampaikan penghargaan yang setinggi tingginya kepada tiga provinsi yaitu; Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Sumatera Barat yang telah berhasil melakukan pembinaan dengan sangat baik di wilayahnya sehingga terpilih sebagai penerima penghargaan pada peringatan Hari Kesehatan Nasional tahun ini.
Penghargaan tahun ini juga mencakup prestasi dalam Pengendalian Malaria. Penghargaan diberikan kepada kabupaten kota yang telah mencapai tahap Eliminasi Malaria. Di tahun 2015 ini kembali berhasil membebaskan 19 kabupaten/kota dari Malria. Dengan demikian, sampai saat ini telah berhasil 232 kabupaten/kota dari Penyakit Malaria. Bila dihitung jumlah penduduk, maka saat ini sebanyak 186 juta penduduk Indonesia (74%) telah hidup di daerah yang bebas penularan malaria.
Meskipun Pengendalian Malaria telah menunjukan hasil yang menggembirakan, akan tetapi masih menghadapi tantangan. Di Indonesia, jumlah kasus Malaria tahun 2014 adalah 252 ribu dan sekitar 79,6% berasal dari kawasan Timur Indonesia, khususnya di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT.
Dalam lima tahun terakhir, angka kesakitan malaria atau Annual Paracite Incidence/API telah berhasil turun dari 1,96 per 1000 penduduk pada tahun 2010 menjadi 0,99 per 1000 penduduk pada tahun 2014 – sehingga sebagian besar wilayah Tanah Air telah masuk dalam tahap eliminasi.
Menkes menhimbau Provinsi dan kabupaten/kota yang masih menghadapi berbagai tantangan dalam Pengendalian Malaria agar meningkatkan Pengendalian Malaria supaya eliminasi di kabupaten/ kota yang belum ter-eliminasi dapat terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Pada peringatan Hari Kesehatan Nasional tahun ini juga diberikan penghargaan Ksatria Bakti Husada, Manggala Karya Bakti Husada , dan Mitra Bakti Husada. Penghargaan ini diberikan kepada Gubernur, dan Bupati/Walikota yang telah berjasa mendukung peningkatan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang komperehensif dan bermutu.
Pelayanan kesehatan primer adalah tulang punggung pelayanan kesehatan baik dalam upaya kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat. Guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan indikator mutu pelayanan kesehatan yaitu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama atau FKTP terakreditasi. Melalui akreditasi, FKTP diharapkan mampu memberikan pelayanan sesuai standar, berkualitas, dan memuaskan pengguna layanan serta pemberi layanan.
Penghargaan untuk Puskesmas yang berprestasi, diberikan kepada Puskesmas yang berprestasi dalam pelayanan kesehatan primer.
Tahun 2015 ini, ada 52 Puskesmas – terdiri dari 22 Puskesmas kawasan perkotaan, 18 Puskesmas kawasan perdesaan, 12 Puskesmas kawasan terpencil/sangat terpencil dan 8 klinik pratama dari 24 provinsi yang mengusulkan FKTP-nya untuk dinilai. Dalam menilai proses penyelenggaraan kegiatan di FKTP, dilakukan penilaian hasil kinerja dengan menggunakan indikator kinerja serta inovasi yang dilaksanakan oleh FKTP – terutama dalam melaksanakan kegiatan promotif -preventif – termasuk pemberdayaan masyarakat.
Selain itu diberikan pula penghargaan seperti; instansi kesehatan yang berprestasi, tenaga kesehatan yang breprestasi, serta pemenang lomba-lomba yang diselenggarakan Unit Utama Kementerian Kesehatan.
Pada akhir sambutan Menkes berpesan agar para penerima penghargaan dari seluruh jajaran pemerintah dan dari segenap lapisan masyarakat dari waktu ke waktu senantiasa mendukung upaya Pemerintah dalam meningkatkan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu guna mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dan kualitas hidup bangsa Indonesia yang sebaik-baiknya. Disamping itu Menkes menghimbau agar seluruh jajaran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota bersama seluruh masyarakat untuk mendorong terwujudnya langkah mengutamakan upaya promotif-preventif dalam Pembangunan Kesehatan.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline
Tulisan dr. Siswanto, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Dalam tulisan ini saya mengangkat isu pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan nasional. Isu ini sangat penting diangkat, karena tidak ada satupun tindakan manusia − termasuk upaya pembangunan − yang tidak berhubungan dengan kesehatan. Mulai dari pola bangun pagi, pola sarapan, pola kerja, pola diet, pola pengendalian stress, sampai dengan pola tidur malam, kesemuanya akan berpengaruh terhadap kesehatan. Bahkan, semua kebijakan dan kegiatan pembangunan juga akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
Perlu diingat bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan kata lain, pendekatan lapis pertama adalah promotif dan preventif. Sementara, kuratif dan rehabilitatif dilakukan setelah lapis pertama gagal.
Health Care Vs Sickness Care
Bila kita konsisten bahwa pembangunan kesehatan adalah upaya memelihara kesehatan dan meningkatkan kebugaran masyarakat (health care), maka pendekatan yang tepat adalah upaya promotif (peningkatan kebugaran) dan preventif (pencegahan risiko penyakit). Karena bila disibukkan pada upaya kuratif dan rehabilitatif (pengobatan dan rehabilitasi setelah sakit), pendekatannya bukan lagi health care namun lebih pada sickness care.
Pendekatan pembangunan kesehatan adalah ibarat kerucut terbalik, dengan alas di atas dan bagian lancip di bawah. Semakin ke alas kerucut (ke atas), permasalahan semakin kompleks, melibatkan lintas sektor, yang notabene di luar kewenangan sektor kesehatan. Semakin ke puncak kerucut (bagian lancip), isunya adalah terkait dengan kesakitan dan kematian, yang akan menguras sumber daya kesehatan yang besar (biaya, fasilitas pelayanan kesehatan, SDM, obat).
Setiap upaya pembangunan lintas sektor di alas kerucut harus digiring untuk mengarah pada upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan risiko penyakit. Peningkatan kesehatan mencakup upaya untuk meningkatkan kebugaran, kebahagiaan, kualitas hidup, umur harapan hidup, dan lain-lain. Sementara, pencegahan risiko penyakit mencakup upaya membudayakan perilaku hidup sehat, seperti olah raga, diet sehat, tidak merokok, tidak minum alkohol, mencuci tangan, gosok gigi dengan benar, keselamatan berlalu lintas, dan sebagainya, serta upaya penyehatan lingkungan, baik tempat tinggal maupun lingkungan yang lebih luas.
Di alas kerucut (bagian atas), tampak bahwa semua kebijakan dan kegiatan pembangunan apapun akan berpengaruh kepada kejadian kesakitan dan kematian (bagian lancip dari kerucut). Misalnya, perekonomian yang baik, tingkat pendidikan yang tinggi, perumahan yang sehat, lingkungan yang bebas polusi dan pencemaran, lalu lintas yang aman, makanan yang bebas zat kimia berbahaya, taman kota, keamanan pejalan kaki, transportasi publik yang aman, pasar sehat, kota sehat, desa sehat, rumah sehat, udara sehat, dan sebagainya; kesemuanya akan berkontribusi positip terhadap tingkat kesehatan penduduk yang tinggal.
Sebaliknya, tingginya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, perumahan yang tidak sehat, lingkungan yang tercemar, lalu lintas yang tidak aman, makanan yang tercemar bahan berbahaya, tidak adanya paru-paru kota, trotoar yang tidak aman, transportasi publik yang tidak aman, pasar yang kotor, lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat, polusi udara, dan lain-lain; kesemuanya yang tidak sehat tadi akan meningkatkan kesakitan dan kematian penduduk yang tinggal.
Mengarahkan semua kebijakan dan upaya pembangunan agar mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kesehatan inilah yang disebut “pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan”. Pendekatan ini berasal dari tesis yang sangat sederhana, yakni “tidak ada satupun tindakan manusia yang tidak berpengaruh terhadap kesehatan manusia”.
Kendaraan Bersama
Untuk menuju pendekatan “pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan”, maka diperlukan ikon pembangunan yang bisa menjadi kendaraan bersama, sedemikian rupa sehingga setiap kementerian/ lembaga dapat mejadi penumpang, untuk mendukung penyehatan bangsa. Kementerian Kesehatan bersama dengan Bappenas telah menginisiasi dua program prioritas, yakni Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) dan Program Keluarga Sehat.
Baik Germas maupun Program Keluarga Sehat akan diprogramkan pada tahun 2016 ini. Dengan mengambil model kerucut terbalik, maka Germas berada di alas kerucut dan Program Keluarga Sehat berada di tengah kerucut. Selanjutnya, program Kartu Indonesia Sehat (JKN) berada di bagian lancip kerucut (bagian bawah kerucut). Dengan mendorong kebijakan lintas sektor untuk memperhatikan kesehatan, kemudian memperkuat keluarga dalam kemandirian hidup sehat, maka akan terjadi penguatan pada sisi promotif (peningkatan kesehatan) dan preventif (pencegahan risiko penyakit). Kalau kedua program ini berjalan dengan baik, maka jumlah yang sakit dan memerlukan upaya kuratif dan rehabilitatif akan bisa menurun. Pendekatan seperti inilah yang disebut health care, dan bukannya sickness care.
Berikut adalah contoh bagaimana kebijakan lintas sektor dapat mendukung pembangunan kesehatan. Kampanye makan buah dan sayur oleh Kementan; olah raga dan deteksi dini penyakit di tempat kerja oleh KemenPAN/RB dan Kemenaker; kampanye pencegahan penyakit dan deteksi dini oleh Kemenkominfo, Kemenkes, dan BPJS; UKS, kantin sekolah sehat, kampus bebas narkoba oleh Kemendikbud dan Kemenristekdikti; taman kota, car free day, jalan sehat, lomba olah raga, taman rekreasi, kawasan bebas rokok oleh Kemendagri, Kemenpora, dan Pemda; kelestarian hutan, pencegahan kebakaran hutan oleh Kemen LHK; penyediaan air bersih, rumah sehat, ruang terbuka hijau oleh Kemen PUPR, Kemendes PDT; kampanye makan ikan, perbaikan gizi balita dan bumil oleh Kemen KP dan Kemenkes; keselamatan lalu lintas oleh Kemenhub dan POLRI; dan seterusnya.
Sementara itu, Program Keluarga Sehat pada dasarnya adalah penguatan kemandirian keluarga dalam meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat, di mana keluarga sebagai unit sasaran terdepan. Setiap tahun suatu keluarga akan dinilai pencapaiannya dengan indikator yang disebut Indikator Keluarga Sehat. Selanjutnya Indikator Keluarga Sehat akan dikompilasi secara hirarkis, mulai dari keluarga, dusun, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan akhirnya nasional. Dari sini akan bisa dilihat persentase capaian keluarga sehat mulai desa sampai dengan nasional.
Terdapat 12 Indikator Keluarga Sehat, yang menggambarkan perilaku hidup sehat keseluruhan segmen siklus hidup. Yakni, kepesertaan program KB bagi pasangan usia subur, antenatal care bagi ibu hamil, imunisasi bayi, pemberian ASI eksklusif, pemantauan pertumbuhan balita, kepatuhan berobat pada penderita TB, kepatuhan berobat penderita hipertensi, penderita gangguan jiwa berat yang diobati, tidak ada anggota keluarga yang merokok, kepesertaan menjadi anggota JKN, ketersediaan sarana air bersih, dan penggunaan jamban keluarga.
Roadmap program keluarga sehat disusun secara bertahap. Tahun 2016 melibatkan 470 puskesmas di 9 provinsi dan 64 kab/kota. Tahun 2017 melibatkan 2.238 puskesmas di 9 provinsi dan 64 kab/kota berikutnya. Tahun 2018 melibatkan 5.085 puskesmas di 9 provinsi dan 203 kab/kota berikutnya. Selanjutnya, tahun 2019 melibatkan 8.610 puskesmas di 6 provinsi dan 149 kab/kota berikutnya. Dengan roadmap bertahap ini diharapkan pada akhir tahun 2019, semua keluarga sudah diintervensi oleh Program Keluarga Sehat.
Agar program keluarga sehat ini dapat berhasil maka kuncinya adalah pemberdayaan masyarakat dan sinergi lintas sektor. Dalam pemberdayaan masyarakat, maka peran petugas kesehatan adalah mentor (pendamping). Masyarakat diharapkan mampu melakukan perubahan secara bersama-sama dan mandiri melalui Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Semoga kedepan pembangunan kesehatan akan mengarah kepada health care, dan bukannya sickness care. (*)
Oleh: Prof.Dr.dr.Nila F.Moeloek, Sp.M(K)
Menteri Kesehatan RI
Mediakom Edisi 76 Hal 44-47, November 2016
Keberhasilan pembangunan nasional sangat bergantung pada seberapa jauh kita berhasil merealisasikan tujuan pembangunan kesehatan kita. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan dalam pembangunan kesehatan akan memberikan landasan yang kokoh bagi upaya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional secara menyeluruh.
Terdapat berbagai faktor yang menjadi prasyarat utama bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, dan salah satu faktor yang paling fundamental dalam menunjang keberhasilan pembangunan kesehatan adalah nutrisi.
Nutrisi dan gambaran pencapaian nasional
Jelas bahwa kekurangan nutrisi berdampak buruk yang signifikan pada kesehatan individu dan masyarakat. Ibu hamil yang tidak cukup gizi akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah, dan dengan demikian memiliki risiko yang meningkat terhadap penyakit-penyakit yang mengancam kelangsungan hidup anaknya. Demikian pula, para gadis yang kekurangan gizi berisiko tidak mampu mengandung dan melahirkan anak yang sehat.
Kekurangan gizi ini menciptakan lingkaran jahat (vicious circle) lebih jauh, karena kondisi ini akan menghambat tumbuh kembang anak hingga dewasa. Pada gilirannya kondisi ini akan menghasilkan individu-invidu yang kurang produktif ketika mereka beranjak dewasa, dan bahkan bisa menjadi beban pembangunan. Estimasi yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa negara-negara di Asia dan Afrika kehilangan sekitar 11 persen dari PNB (Pendapatan Nasional Bruto) setiap tahun yang disebabkan oleh gizi buruk.
Indikator pencapaian status gizi yang ditandai dengan Pemantauan Status Gizi (PSG) 2015 menunjukkan hasil-hasil yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Terutama persentase balita dengan gizi buruk dan sangat pendek yang mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.
PSG 2015 menunjukkan 3,8% Balita mengalami gizi buruk. Angka ini turun dari tahun sebelumnya yakni 4,7%. Hasil PSG 2015, antara lain menunjukkan bahwa untuk status gizi Balita menurut Indeks Berat Badan per Usia (BB/U), didapatkan hasil: 79,7% gizi baik; 14,9% gizi kurang; 3,8% gizi buruk, dan 1,5% gizi lebih. Sementara untuk status gizi Balita menurut Indeks Tinggi Badan per Usia (TB/U), didapatkan hasil: 71% normal dan 29,9% Balita pendek dan sangat pendek. Dan untuk status gizi Balita menurut Indext Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB), didapatkan hasil,: 82,7% Normal, 8,2% kurus, 5,3% gemuk, dan 3,7% sangat kurus.
Meskipun demikian, terdapat berbagai kondisi kesehatan keluarga yang masih harus ditingkatkan melalui upaya peningkatan gizi keluarga. Peningkatan ini terutama dapat ditempuh melalui akselerasi program-program yang telah ada, seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk Balita dan ibu hamil, maupun pengembangan dan implementasi dari program-program pendamping inovatif lainnya untuk menunjang efektivitas dari program-program yang ada.
Menyikapi tantangan pembangunan gizi
Penting untuk melihat bahwa pencapaian dalam target-target nutrisi terkait secara erat dengan pencapaian bidang-bidang pembangunan lainnya, dan nilai-nilai sosial-budaya dalam masyarakat. Upaya pencapaian dalam bidang nutrisi, misalnya, tidak dapat diisolasikan dari isu-isu utama dalam ketahanan pangan dan pola makan masyarakat kita. Keterkaitan yang kompleks dengan isu-isu pembangunan lain ini merupakan salah satu masalah fundamental yang harus diselesaikan, sebelum kita memusatkan perhatian lebih jauh pada pemenuhan gizi masyarakat.
Secara geografis, malnutrisi umumnya tersebar di berbagai wilayah di tanah air yang memang rentan dengan kerawanan pangan. Malnutrisi juga berkaitan dengan perilaku dan konsumsi masyarakat. Temuan yang diperoleh dalam studi tentang kondisi ketahanan pangan dan gizi di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Smeru, UKP4 dan WFP (2014), menunjukkan bahwa malnutrisi juga tersebar dalam semua spektrum pendapatan. Sebagai contoh, prevalensi kondisi kerdil ditemukan cukup tinggi di kelompok rumah tangga terkaya.
Ini menunjukkan bahwa malnutrisi tidak hanya merupakan persoalan yang membelit kelompok berpendapatan rendah dan mereka yang menetap di wilayah rawan pangan, tetapi juga kelompok rumah tangga kaya di wilayah perkotaan.
Pendekatan lintas-sektor dan inovatif
Tantangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat menjadi semakin berat jika bidang-bidang pembangunan yang terkait langsung kecukupan nutrisi, seperti ketahanan pangan, infrastruktur, air bersih dan sanitasi, belum berkembang secara optimal. Oleh karena itu, kerja sama lintas sektor antara berbagai pemangku kepentingan terkait, pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat madani, merupakan pra-kondisi mutlak untuk meningkatkan status gizi masyarakat.
Berpikir secara kreatif (out-of-the-box) untuk menyelesaikan persoalan dengan melibatkan pemangku kepentingan non-pemerintah, mungkin masih sering menjadi kendala, terutama bagi mereka yang terbiasa berpikir dalam kotak-kotak birokrasi. Tapi tanpa upaya-upaya kreatif dan inovatif yang berkelanjutan seperti ini upaya-upaya dalam meningkatkan status gizi masyarakat akan terus menemui jalan terjal.
Peran pemerintah di tingkat pusat dan daerah
Pemerintah menyadari bahwa meskipun capaian dalam bidang pembangunan kesehatan cukup menggembirakan, diperlukan upaya-upaya terobosan inovatif untuk mengakselerasi kemajuan yang telah dicapai. Partisipasi aktif masyarakat merupakan kunci untuk mengakselerasi kemajuan yang telah dicapai, oleh karena itu program kesehatan dan gizi berbasis masyarakat yang telah dicanangkan pemerintah merupakan prioritas dalam pembangunan kesehatan nasional, dengan penekanan khusus pada pemberdayaan masyarakat, penguatan penyedia pelayanan, serta pemantauan dan evaluasi.
Mengacu pada kondisi pembangunan kesehatan dewasa dan tujuan yang hendak dicapai, diperlukan upaya yang intensif untuk memperkuat pendekatan preventif dan promotif dalam kesehatan. Pendekatan preventif dan promotif ini tercermin secara kuat dalam salah satu program terobosan pemerintah, yakni Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dan Program Keluarga Sehat melalui pendekatan keluarga.
Sebagai penguatan upaya promotif dan preventif masyarakat, tujuan GERMAS mencakup antara lain: 1) Menurunkan beban penyakit menular dan penyakit tidak menular, baik kematian maupun kecacatan; 2) Menghindarkan terjadinya penurunan produktivitas penduduk; dan 3) Menurunkan beban pembiayaan pelayanan kesehatan karena meningkatnya penyakit dan pengeluaran kesehatan. GERMAS didasari oleh prinsip-prinsip: Kerjasama multisektor; Keseimbangan masyarakat; keluarga dan individu; Pemberdayaan masyarakat; 4) Penguatan sistem kesehatan; Pendekatan siklus hidup; Jaminan Kesehatan Nasional (JKN); dan berfokus pada pemerataan layanan. Gerakan ini dimulai dengan tiga fokus kegiatan, yaitu: 1) meningkatkan aktivitas fisik; 2) konsumsi sayur dan buah, serta 3) deteksi dini penyakit tidak menular (PTM).
Kebijakan lainnya untuk menunjang pembangunan kesehatan melalui pendekatan preventif dan promotif adalah Program Keluarga Sehat melalui pendekatan keluarga yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Karakteristik utama dari program ini adalah: 1) Keluarga sebagai sasaran utama; 2) Penekanan pada aspek promotif dan preventif, disertai penguatan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM); 3) Kunjungan rumah secara aktif untuk peningkatan outreach dan total coverage; 4) Pendekatan siklus kehidupan atau life cycle approach.
Untuk memastikan agar baik GERMAS maupun Program Keluarga Sehat dapat berfungsi secara optimal, perlu dilakukan pembinaan pada Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat. Pembinaan tersebut terutama mencakup penyiapan data-data berbasis keluarga di wilayah kerja dan pelayanan sesuai dengan permasalahan kesehatan berbasis keluarga. Untuk memperkuat sistem kesehatan, akses dan kualitas layanan kesehatan juga perlu ditingkatkan. Selain itu, penguatan regulasi, manajemen dan struktur organisasi perlu dilakukan dalam upaya mendukung program GERMAS dan Keluarga Sehat.
Untuk memastikan adanya standar pelayanan yang baku dan koordinasi yang efektif antara pusat dan daerah saat ini Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Dalam Negeri sedang menyusun RPP Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan revisi peraturan tentang Struktur Organisasi Dinas Kesehatan. SPM ini mencakup ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
Terkait erat dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat dan Program Keluarga Sehat adalah Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan in merupakan salah satu jawaban terhadap permasalahan status gizi masyarakat dengan meletakkan fokus yang kuat pada pendekatan lintas-sektor. Gerakan ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa periode terpenting dalam kehidupan manusia adalah masa 1000 hari pertama dalam kehidupan, yang mencakup 270 hari dalam kandungan dan 730 hari setelah kelahiran. Kekurangan gizi selama periode tersebut akan memengaruhi secara negatif tumbuh kembang anak, mengakibatkan kondisi kerdil, kurus kering atau pun obesitas, dan pada gilirannya memperburuk kualitas hidup di masa dewasa.
Sebagaimana telah disinggung di atas, salah satu fokus GERMAS adalah pemenuhan kebutuhan gizi melalui konsumsi sayur dan buah sebagai landasan mewujudkan kehidupan keluarga yang sehat.
Hal ini antara lain ditandai dengan adanya perhatian serius yang diberikan Presiden Joko Widodo melalui kunjungan kerjanya ke 10 wilayah kabupaten/kota untuk mendapatkan informasi secara langsung tentang status kesehatan dan gizi masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Kesepuluh wilayah tersebut mencakup Nias, Sibolga, Lebak, Pandeglang, Serang, Kab. Bandung, Kota Bandung, Situbondo, Ponorogo, dan Banyuwangi.
Dari kunjungan Presidentersebut, terlihat bahwa status kesehatan dan gizi di wilayah-wilayah menunjukkan kemajuan yang cukup baik, meskipun di beberapa tempat masih harus diberikan catatan khusus pada masalah kurang gizi dan pendek (stunting).
Memastikan keberlanjutan program-program inovatif
Perkembangan menggembirakan dari observasi di wilayah-wilayah yang dikunjungi di atas adalah keterlibatan aktif pemerintah daerah setempat dalam upaya meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat setempat. Sebagai contoh, Kabupaten Situbondo mengembangkan dan mengimplementasikan program inovatif dalam bidang peningkatan gizi masyarakat melalui Rumah Pemulihan Gizi (RPG), yang mencakup serangkaian kegiatan mulai dari pemeriksaan status gizi, edukasi gizi hingga pemeriksaan medis.
Sementara itu di Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, dilakukan strategi pendistribusian PMT- pemulihan bagi para Balita penderita gizi buruk melalui program OMABA (Ojek Makanan Balita). Contoh di atas hanya segelintir dari berbagai program inovatif yang telah diimplementasikan di berbagai wilayah tanah air dalam upaya menanggulangi permasalahan gizi burukpada bayi dan anak-anak.
Penting untuk memastikan agar berbagai praktik cerdas seperti di atas dapat berkelanjutan hingga berdampak yang lebih signifikan pada upaya penanggulangan gizi buruk di masyarakat. Untuk itu, diperlukan partisipasi aktif dan berkelanjutan dari semua pemangku kepentingan pembangunan yang bersifat lintas sektor, dan aksi partisipatif dari masyarakat sendiri untuk memastikan agar upaya mencapai kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan kesehatan dan gizi dapat direalisasi.